Goresan Pensil

Kamar yang tak begitu luas telah dipenuhi dengan kertas-kertas coretan abu-abu. Banyak sekali lukisan yang telah terselesaikan disana. Banyak juga sketsa lukisan yang masih dalam proses. Seorang pemuda bernama Lune tertidur diantara kertas-kertas putihnya itu. Bermimpi bisa menjadi bagian dari para pelukis terkenal.
Cahaya surya datang menghampiri. Sang ibu telah menyiapkan sarapan untuk anaknya yang masih tertidur pulas. Wanita tua tersebut beranjak ke kamar Lune setelah selesai menata sarapan.
"Lune, bangun nak. udah jam berapa ini, buruan mandi habis itu sarapan." Suruh ibunya dari pintu kamar.
Lune terbangun oleh suara itu dan segera mandi.
Setelah selesai mandi, Lune berjalan ke meja makan untuk sarapan. Sewaktu sarapan tak ada obrolan yang begitu serius. Ibunya hanya menanyakan pasal studinya, karya yang sedang ia buat, dan juga kenapa kamarnya akhir-akhir ini kotor sekali. Seselesainya makan, Lune berpamitan kepada ibunya untuk pergi ke kampusnya.
30 menit berlalu, akhirnya Lune sudah sampai di kampusnya. Lune pergi memasuki ruangan seni lukis, tempat anak-anak jurusan seni lukis bergulat dengan kanvasnya. Lune melanjutkan gambaran sketsanya yang masih belum selesai itu. Beberapa saat kemudian, teman-temannya mulai berdatangan.
"Gimana sketsa lu?" Ucap Win, temannya yang baru saja datang.
"Masih on proses," jawab Lune singkat.
"Heyyy ma frennn, gimana tugas akhir lu pada?" tanya Tan yang datang seraya membawa makanan.
"Tempat gua tinggal diwarnai aja sih," jawab Win santai.
"Kalau gua, tinggal kasih detail dikit aja sih," jawab Lune sembari meraut pensilnya yang sudah mulai tumpul.
Tugas akhir mereka adalah membuat karya lukis dengan pengembangan imajinasi. Waktu penyelesaian selama satu bulan dan hasil akhir akan dipajang di galeri seni. Akan ada 3 karya terpilih yang akan dipajang di dinding utama galeri seni.
Lune merasa stress dan memilih pergi ke sebuah danau tak jauh dari kampusnya. Lelaki dengan pakaian putih itu berjalan santai sembari membawa canvasnya yang besar. Setelah 15 menit berjalan, akhirnya Lune sampai di danau yang pemandangannya sangat indah. Lelaki muda itu duduk di tepi danau, di bawah pohon rindang.
Setelah mendapat posisi yang nyaman, Lune akhirnya melanjutkan sketsanya yang sempat tertunda. Cakrawala sudah berubah warna sejak tadi, berjam-jam Lune duduk disana sembari memangku canvasnya itu. Pemuda itu memutuskan untuk beristirahat sebentar dengan membeli makanan ringan di toko sekitar danau. Ia meninggalkan semua barang-barangnya disana, kecuali handphone dan juga dompet.
5 menit berlalu, lelaki berbaju putih itu kembali dengan makanan ditangannya. Dia kembali duduk dibawah pohon rindang itu dan memakan makanannya yang telah ia beli. Sembari menyantap makanannya itu, Lune juga melihat pemandangan danau yang selalu bagus dicuaca apapun. Saat sedang menikmati santapannya, Lune melihat bahwa lukisannya telah kotor oleh tanah.
"LAH, LUKISAN GUA KOK KOTOR?." Tanyanya pada diri sendiri.
Ia langsung meletakan makanannya itu dan membersihkan canvasnya dari tanah. Tak disangka kotoran itu berasal dari tanah basah yang susah dihilangkan bahkan meninggalkan bekas. Rasanya ingin menangis, bahkan marah. Lune akhirnya membereskan barang-barang miliknya dan pergi pulang.
Sesampainya di rumah, ia tak menyapa ibunya seperti biasa. Lelaki itu langsung pergi ke kamar dengan perasaan campur aduk. Meletakan canvasnya yang kotor di canvas stand, dekat dengan meja belajarnya. Menaruh tas sembarangan dan menjatuhkan diri ke kasur. Semua perasaan yang ia pendam, ia salurkan dengan meninju kasur empuknya itu dan akhirnya Lune tertidur pulas.
***
Matahari telah berada tepat diatas kepala dan Lune masih duduk bergelut dengan canvasnya. Ia sebenarnya tak sendirian, ada Win dan Tan yang menemaninya.
"Ne, ayo makan di kantin. katanya ada menu baru tau, lu kagak mau coba?" tanya Tan yang datang dengan keadaan perut lapar.
"Iya ayo dah, dari pada lu nanti sakit." Ajak Win seraya menarik tangan Lune.
Akhirnya mereka jalan beriringan menuju kantin fakultas seni. Mereka memesan nasi curry, itulah menu baru kantin fakultasnya. Sekitar 30 menit mereka habiskan disana, selain untuk makan, mereka juga bersantai supaya tidak stress.
Setelah puas bersantai, mereka kembali menuju ruang seni untuk melanjutkan lukisan mereka. Saat menuju kesana, ada bau asap yang begitu menyengat.
"Bau asap dari mana ini kocak?," tanya Tan sembari menutup hidungnya.
"RUANG SENI KITA ITU KOCAKK," teriak Lune menggelegar.
Mereka bertigas langsung berlari menghampiri ruang seni yang terbakar itu. Api yang menyala hebat, tak ada orang bisa masuk kesana. Orang-orang berusaha memadamkan api yang ganas itu.
"Ini kenapa bisa kebakar?" tanya Win kepada salah satu teman cewek sejurusannnya.
"Tadi ada yang eksperimen buat lukisannya. Katanya mau bikin yang berbeda dari yang lain. Dia gunain api untuk ngasih kesan realistis, tapi siapa sangka apinya malah merembet kemana-mana." Jelas sang perempuan itu.
Suasana saat itu ricuh dengan orang-orang yang berusaha memadamkan api. Lune tampak khawatir akan karyanya, lukisannya pasti sudah hangus didalam sana. Tanpa pikir panjang Lune masuk ke dalam kobaran api itu, untuk menyelamatkan karyanya. Tan dan Win terkejut melihat kenekatan Lune. Mereka berdua tak bisa menyusul Lune, sebab api semakin besar. Setelah beberapa menit akhirnya api padam, Tan dan Win segera masuk dan melihat Lune tergeletak lemah seraya memegang kanvas yang awalnya putih menjadi hitam terbakar. Teman-temannya langsung membawa Lune ke runah sakit untuk penanganan yang lebih serius.
Sesampainya di rumah sakit, Lune ditangani di IGD, sebab ia telah menghirup banyak sekali asap dan pastinya ada luka bakar saat ia menyelamatkan canvasnya itu. 2 jam telah berlalu, dokter akhirnya keluar dari IGD.
"Apakah anda keluarga korban?," tanya sang dokter yang melihat Win dan Tan menunggu di depan IGD.
"Saya temannya, dok. gimana kondisi teman saya? apakah dia baik-baik saja?," tanya Win dengan muka khawatirnya.
"Pernapasannya bermasalah, dia telah menghirup banyak sekali asap. Selama beberapa hari ini ia harus memakai masker oksigen sampai ia merasa lebih baik," jelas sang dokter panjang lebar.
"Luka di tubuhnya gimana, dok?," lanjut Tan, tentu saja dengan wajah paniknya.
"Untuk lukanya bakarnya hanya ada di lengan dan kaki. Bagian jari hingga telapak tangan itu paling parah, saya sarankan jangan biarkan dia memegang apapun jika lukanya belum kering." Ujar dokter muda itu dengan wajah tenangnya.
Setelah selesai mengobrol dengan dokter yang menangani Lune, Win pergi ke adminitrasi untuk mengurus keuangan dan Tan pergi ke dalam kamar dimana Lune dirawat. Keadaan pemuda itu begitu mengkhawatirkan, luka bakar yang terekspos dan masker oksigen yang terpasang. 15 menit kemudian Win datang dengan makanan ditangannya.
"Nih makan, gua tau lu laper berat," ujar Win sembari melempar nasi bungkus yang ia beli di kantin rumah sakit.
"Makasih. Win ini kita kasih tau mamanya gak? Mamanya pasti khawatir di rumah, biasanya jam segini Lune udah pulang," ucap Tan sambil melihat Lune yang terbaring lemah di dipan rumah sakit.
"Nanti gua aja yang bilang, lu makan aja dulu." Jawab Win sembari membuka ponselnya.
Hari sudah mulai gelap, Win dan Tan menunggu kedatangan wanita yang melahirkan Lune. 10 menit berlalu dan akhirnya ibu Lune datang dengan membawa makanan.
"Win, Tan, makasih ya udah jaga Lune. Ini makanan buat kalian, kalian habis ini pulang aja. Nanti kalau Lune udah sadar, tante kabarin." Ucap sang ibu sembari memeluk mereka berdua.
Mereka berdua pun berpamitan untuk pulang, meninggalkan ibu dan anak itu sendirian.
***
"Lune! akhirnya lu bangun, Tan panggil dokter cepet." Suruh Win.
Sang dokter tiba dengan cepat bersama suster dan Tan, ia langsung memeriksa keadaan Lune.
"Lune keadaannya sudah baik, ia sudah bisa melepaskan masker oksigennya. Tetapi luka bakar ditangannya belum sembuh sepenuhnya, seperti catatan saya kemarin, jangan memegang apapun sampai lukanya itu kering." Jelas dokter itu kepada mereka bertiga.
Dokter itu segera pergi setelah tugasnya selesai di sana.
"Gua gak bisa megang kuas?," tanya Lune secara tiba-tiba sambil melihat telapak dan jarinya penuh akan luka bakar.
"Lune, gua bisa bantu lu," ucap Win sembari menghampiri Lune.
"Gua gak bisa megang kuas, Win. Gua gak bisa ngebuat ulang lukisan gua. Gua gak bisa ngapa-ngapain," ucap Lune lirih dengan mata yang berkaca-kaca.
"Gua gak bisa, Win. Karya gua gak bakal ada di dinding utama galeri, Tan," lanjut Lune yang akhirnya menangis. Menatap Tan dan Win dengan tatapan kecewa.
"Bisa, pasti bisa." Ujar Win sembari memeluk Lune, disusul juga Tan.
***
Angkasa telah membawa cahaya hangat yang menjanjikan kebahagiaan untuk semua orang, tetapi tidak untuk seorang pemuda yang masih terbaring lemah diatas ranjang rumah sakit. Lune sudah bangun sejak tadi, tetapi tak berniat membangunkan yang lain. Ia terus-terusan menatap tangannya yang penuh akan luka bakar. Tiba-tiba ia merasa ada yang tak beres dengan tubuhnya, sesak napas, dan tangannya bergetar hebat. Disaat itu juga Win terbangun dan langsung melihat Lune dengan keadaan yang mengkhawatirkan, ia langsung bangkit dan memasang masker oksigen pada Lune. Win berlari untuk memanggil dokter. Dokter datang bersama suster untuk melakukan penanganan. Selama penanganan berlangsung, Win dan Tan menunggu diluar. 1 jam berlalu, kantuk Tan sudah hilang semenjak tadi, rasa ngantuknya pergi menjadi khawatir saat melihat Lune dengan keadaan memprihatinkan.
Ibu Lune datang setelah ditelfon oleh Tan. Dokter keluar dari ruang rawat Lune dan menjelaskan kepada ibu Lune.
"Lune keadaannya drop, ia terlalu memikirkan banyak hal sehingga memicu penyakitnya yang belum sepenuhnya sembuh. Masker oksigen harus dipakai selama dia dirawat disini dan berkaitan dengan luka bakar, itu masih belum sembuh."
Ruangan menjadi membiru, melihat Lune terbaring lemah dengan masker oksigennya. Sekarang, ibunya hanya bisa menunggu dan berdoa sampai anaknya membaik.
***
Tak terasa, 5 hari sudah berlalu. Lune sudah bisa melepas masker oksigennya dan luka bakarnya mulai mengering. Perlahan ia mulai bisa menggambar sketsa dikanvas putih barunya. Ya walaupun, ibunya tetap mengomel, sebab ia bisa tak tidur bahkan makan saat sudah berhadapan dengan canvasnya.
Malam harinya, Tan datang dengan membawa buah-buahan dan sedikit informasi.
"Ma frennn, udah sama canvasnya aja nih," sapa tengil sang pemuda yang baru saja datang.
"Kalau lu gak bawa apa-apa kesini, mending lu pulang," ujar Lune yang merasa terganggu.
"Ye kocak, gua ada info. Kalau tenggatnya tinggal 1 minggu lagi dan kumpulnya di galeri seni langsung." Ucap Tan sembari memakan apel yang ia bawa.
Lune hanya mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya. Tujuannya kali ini hanya menyelesaikan karyanya tepat waktu. Tan tak berlama-lama disitu, selang 10 menit ia kemudian pulang. Pemuda dengan baju pasien itu tetap bergelut dengan lukisannya hingga sang baskara datang.
Sang baskara sudah bertengger tepat diatas kepala. Lune tertidur bersama canvasnya sejak dini hari. Pagi itu sang ibu datang membawa sarapan untuk anaknya.
"Lune, bangun dulu, ayo sarapan," ucap si ibu sembari menggoyangkan badan Lune agar terbangun. Lune pun terbangun
"Kamu ini, istirahat bentar gak bisa kah? mama tau kalau itu penting, tapi jangan sampe melewatkan makan sama begadang dong. Kamu tuh lagi berusaha pulih, kok badannya malah di gempur lagi." Omel wanita yang sedang menyuapinya itu.
Lune hanya mengangguk sebagai balasan, ia masih merasa ngantuk. Setelah selesai makan, ia kembali tidur dengan nyaman.
Lune kembali melajutkan lukisannya saat langit sudah berwarna oranye. Berjam-jam ia bergelut dengan goresan pensil diatas canvas. Tepat pada pukul 02.00 dini hari, sketsanya selesai. Dia meletakan kanvasnya dan terlelap.
***
Tenggat waktu hanya tersisa 4 hari lagi untuk mengumpulkan karya lukisnya. Lune terbangun saat cahaya matahari menembus ruangannya. Bersama rasa kantuknya, ia berjalan menuju kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci mukanya. Setelah semua selesai, ia kembali melanjutkan lukisannya.
Hari dan waktu Lune habiskan hanya untuk memberi warna pada lukisannya. Tangannya yang masih sedikit bergetar, memaksa memberikan hasil yang halus diatas sketsanya. Warna yang berserakan diatas kasurnya dan kuas basah yang berada didalam gelas plastik, ia gunakan dengan hati-hati. Semua dilakukan dengan telaten. Dukungan dan doa sang ibu juga selalu ada untuk Lune.
***
Tepat pada hari sabtu, Lune menyelesaikan lukisannya. Sungguh indah, gambaran danau biru yang dikelilingi dengan bunga teratai berwarna pink, membuat lukisannya sangat hidup dan cantik. Hari itu adalah tenggat terakhir pengumpulan karya. Ia menunggu Win untuk menjemputnya.
Lune menunggu di depan rumah sakit dengan canvas nya yang besar. Cuaca hari itu tak begitu panas dan memang ia sudah diperbolehkan pulang. 30 menit berlalu namun Win belum juga datang. Hingga akhirnya 1 jam berlalu mobil Win belum terlihat juga. Waktu pengumpulan hanya tersisa 1 jam. Lune akhirnya pesan memesan transportasi online untuk menuju kampusnya dengan perasaan jengkel.
Jarak rumah sakit menuju kampus sebenarnya tidak terlalu jauh namun memakan waktu karena jalanan macet pada pagi hari itu. Ia menghabiskan waktu diatas motor sekitar 35 menit. Sesampainya di kampus, ia berjalan dengan cepat, berharap waktu berputar lambat. 10 menit terakhir, akhirnya ia sampai di galeri seni dan berhasil mengumpulkan karya lukisnya.
Saat ingin beranjak dari sana, Win datang dengan napas terengah-engah.
"Lune! maafin gua, gua telat jemput lu. tadi ban mobil gua bocor, jadinya harus nambal dulu." Ucap Win dengan rasa bersalah.
Lune mengangguk yang berarti tak apa-apa. Setelah mengumpulkan karyanya, mereka berjalan menuju kantin untuk bersantai.
***
Lune pergi bersama Win dan Tan untuk melihat hasil karya mereka di galeri seni. Perjalanan menuju kesana, pikiran Lune dipenuhi oleh pertanyaan "apakah karyaku menjadi salah satu yang dipajang di dinding utama?" Sesampainya disana, mereka melihat banyak sekali karya-karya dalam kanvas yang hidup. Indah, itu kata pertama mereka saat sampai disana.
Lune berjalan perlahan seraya melihat-lihat karya yang lain. Hingga ia sampai di dinding utama galeri seni. Karyanya terpampang jelas di urutan nomor 2, karya Win berada di nomor 1 dan Tan berada di nomor 3. siapa sangka, mereka adalah top 3 nya.
Matanya berkaca-kaca. Mengingat semua perjuangannya. Senang dan terharu melihat karya lukisnya terpajang jelas disana. Perjuangannya selama ini tak sia-sia, impiannya tercapai.
"Selamat, karya lu pada akhirnya ada disebelah gua." Ucap Win seraya merangkul Lune dan Tan bangga.
"Makasih, Lune. Perjuangan lu gak sia-sia, makasih juga udah membuat gua bangkit dari kegelapan dan membuat penghargaan baru dikehidupan gua dengan lukisan ini." Ucap Tan seraya memeluk Lune.
Widyawati Paramitha-2024
Ilustrasi by Indrak
Kirim Komentar