Kisah Putih Biru

Aku berjalan menyusuri jalanan setapak bersama seorang wanita dengan almamater kampus. Dialah Naura, sahabat putih biruku. Ia memecahkan suasana perjalanan dengan pertanyaan yang mengingatkank pada sesuatu.
“Ingatkah kau saat kita bertingkah?” tanyanya.
Aku tersenyum meringis mendengar ucapannya. Kala itu, aku adalah seorang pelajar SMP. Aku dan Naura merupakan teman sebang yang sudah berteman sejak kami kelas 7 hingga menjadi sahabat. Aku selalu menceritakan apapun yang terjadi begitu pula dirinya.
Sekolah kami memiliki satu pohon mangga yang sedang berbuah lebat. Hanya saja, sangat disayangkan apabila buah tersebut jatuh dan membusuk. Banyak dari beberapa anak menginginkan daging buah itu namun tidak bisa mendapatkanya. Ada pernyataan yang menyatakan bahwa pohon mangga milik kepala sekolah, apabila kalian ada yang mengambil buahnya tanpa izin, maka dapat dikatakan mencuri dan akan mendapat hukuman setimpal. Hal itu masuk akal. Tetapi sudah ada beberapa anak yang mencoba untuk meminta buah mangga dan meminta izin kepada kepala sekolah, namun hasilnya nihil. Alhasil, mereka mengendap-endap dan memanjat pohon tanpa sepengetahuan guru.
Beberapa anak mungkin tidak ketahuan namun apabila ketahuan, maka dirinya akan diberi sanksi. Sanksi yang didapatkan mulai dari lari 10 kali lapangan, membersihkan toilet, dan menyiram tanaman, serta yang paling parah adalah membuat rujak dari hasil mangga yang telah dicuri untuk kepala sekolah.
Aku dan Naura begitu menyukai buah mangga yang tidak begitu matang. Ketika jam istirahat, kami berdua berjalan beriringan menuju kantin. Tepat di depan pohon mangga, kami melihat buah mangga yang menggiurkan. Tanpa berpikir panjang, kami mengendap-endap mencari alat untuk memetik buah mangga. Untungnya pohon mangga tersebut tidak terlalu tinggi, sehingga memudahkan kami dalam memetik buahnya.
Kami berhasil memetik 2 buah mangga yang masih terlihat muda. Setelah berhasil membawa kabur tak sengaja kami bertemu dengan Bu Kiki. Beliau merupakan guru bahasa Inggris. Kami cepat-cepat menyembunyikan mangga dibalik tubuh kami.
Ia berkata, “Hayo, kalian umpetin apa tuh?”
Kami berusaha bersikap tenang dan menggeleng dengan arti ‘tak ada apa-apa’. Bu Kiki dengan senyum menyindir berujar, “Ibu tak akan beritahu siapapun, asalkan kalian bisa memberi 1 untuk saya.”
Tanpa berpikir lagi, Naura langsung memberikan 1 buah mangga itu kepada Bu Kiki sambil berbisik di telinganya, “Janji jangan beri tau siapa-siapa ya, bu.”
Bu Kiki menerima pemberian kami lalu mengangguk. Beberapa hari, minggu, bahkan bulan terlah berlalu. Nampaknya Bu Kiki tak pernah membahas soal buah mangga itu kepada siapapun.
***
Aku berlari menuju kelas dengan membawa sebuah berita yang bagiku sangat luar biasa. Setelah tiba di depan pintu aku lalu duduk di sebelah Naura.
“Kau tau? Aku barusan diminta untuk ikut lomba pidato sama Pak Muh,” Kataku.
Pak Muh merupakan guru bahasa Indonesia kelas 9. Kala itu aku dan Naura memang masih duduk di bangku kelas 9.
“Wih, selamat yaa, aku tau kamu pasti bisa,” balasnya.
Begitulah kurang lebih jawabannya. Ia mengatakan hal itu dengan senyumannya yang membuat hatiku ikut bahagia.
Ia kembali bertanya, “Kapan kau mulai latihan?”
“Mungkin besok atau lusa, ini baru pendaftaran dan Pak Muh baru akan membuatkan teksnya,” kataku.
Aku mengambil botol minumku dan meneguk air membasahi tenggorokan keringku. Tampaknya ia puas dengan jawaban yang aku berikan dan melanjutkan makan istirahatnya.
***
Setelah 2 hari berlalu, aku dipanggil oleh Pak Muh dijam istirahat makan siang. Ia menyodorkan sebuah kertas hasil print yang bertajuk syarat-syarat lomba pidato. Aku meraih kertas tersebut dan mulai membaca baris perbaris, larik perlarik untuk memahami isi dari kertas tersebut. Ya, memang kertas itu berisi persyaratan yang harus terpenuhi dalam pelaksanaan lomba. Pada akhir bacaan aku menarik arah pandangan mataku menuju Pak Muh bertanya mengenai latihan.
“Jadi, kita kapan latihannya pak? Apakah bapak sudah buat teksnya?” begitulah pertanyaan yang kulontarkan.
Pak Muh menjawab sambil membuka sebuah bungkus permen yang bentuknya pipih lonjong.
“Kau santailah dulu, nanti sore kita latihan di ruang perpustakaan, ya,” katanya.
Aku mengangguk lalu beranjak menuju kelas untuk memakan bekalku.
Bel jam pelajaran ke-4 berbunyi. Pak Muh datang dengan membawa buku cetak dan beberapa alat tulis. Ia meletakkan barang bawaannya di meja guru dan berdiri memberikan tugas individu kepada seluruh murid.
“Anak-anak, hari ini kita akan belajar mengenai teks pidato. Kalian bisa buka buku cetak halaman 59. Kalian baca terlebih dahulu perintahnya, lalu kerjakan soal nomor 1-3,” perintahnya.
Aku mulai membuka dan mencari halaman yang diperintahkan Pak Muh lalu, membaca soal-soal yang tertera. Dalam perintah itu disebutkan bahwa kami diminta untuk membuat teks pidato dan membacakannya di depan teman-teman sekelas. Aku yang dengan mudah memahami hal tersebut segera mengambil alat tulis dan mencoretkan tinta di kertas dengan lihai. Nampaknya beberapa anak sedikit kesulitan dan berpikir keras. Kaira, salah seorang murid perempuan yang paling menyebalkan di kelas terlihat begitu mudah dalam mengerjakan tugas tersebut.
Setelah kami semua selesai, Pak Muh meminta untuk mempresentasikan hasil pekerjaan murid-murid sesuai dengan petunjuk dibuku. Tibalah giliranku. Aku membacakan tulisan yang telah selesai. Tak hanya sekedar membaca, namun aku mencoba untuk mengikuti sesuai dengan petunjuk yang tertulis di kertas yang diberikan Pak Muh tadi siang. Ketika aku selesai membacakan pidatoku, ada salah satu murid berkomentar dan itu adalah Kaira, anak yang kusebut menyebalkan. Astaga, apalagi yang akan ia katakan. Dengan sikap percaya diri dan angkuh, Kaira berkata, “Inikah yang mau diikutkan lomba pidato oleh Pak Muh? Apa Pak Muh ngga salah pilih?”
Aku menjawab perkataanya dengan raut kesal, “Apa maksudmu?!”
Jujur saja, banyak dari beberapa murid tak menyukai dia karena sikap angkuhnya yang begitu menyebalkan. Biasanya aku tak begitu peduli dengan apa yang ia katakan. Namun kali ini, aku cukup tersinggung dengan perkataannya. Bahkan setelah aku berkata demikian ia seolah tak peduli. Pak Muh berusaha untuk menyudahi kejadian diantara kami dan menyuruhku untuk duduk. Aku mendaratkan tumpuanku pada kursi yang membuat Naura mengulurkan tangannya dengan maksud menenangkanku.
Sesuai dengan perkataan Pak Muh tadi siang, setelah pulang sekolah aku berlatih dengannya di ruang perpustakaan. Sayangnya, Naura sudah pulang terlebih dahulu karena sudah dijemput orangtuanya sehingga tidak dapat menemaniku berlatih. Dua jam aku berlatih bersama Pak Muh, beliau terus membentak dan menyuruhku mengulangi sesuai dengan permintaannya. Entah apa yang terjadi denganku, padahal kemarin saat dites oleh Pak Muh tidak seperti saat sekarang. Aku terus memikirkan perkataan Kaira. Biasanya orang-orang menyebutnya “overthingking”. Pak Muh mungkin paham apa yang terjadi dan dengan sabar ia memberiku nasihat. Beliau bercerita tentang muridnya yang dulu juga mengikuti lomba pidato. Murid tersebut juga mengalami hal yang sama denganku saat ini. Aku hanya bisa terdiam di sebelah pak Muh dan mendengarkannya bercerita. Pak Muh kemudian menyuruhku untuk kembali pulang setelah ia selesai bercerita. Beliau membiarkan aku menenangkan diri dan mengevaluasi latihan sore ini.
***
Hari-hari berikutnya, aku terus berlatih dan terus mengevaluasi segala kesalahan yang berkali-kali disinggung Pak Muh. Hingga tibalah hari perlombaan. Aku mengenakan pakaian formal berjalan menuju panggung setelah namaku dipanggil. Aku dengan percaya diri menunjukkan hasil latihan tanpa mengingat hal yang telah lalu.
Jantungku berdebar setelah selesai lomba. Apakah aku sang pemenang itu? Ataukah aku seseorang yang harus kembali dengan membawa kata tak apa? Entahlah. Aku terus memikirkan hal tersebut hingga waktu yang ditunggu setiap peserta tiba. Panitia mulai menyuarakan nama-nama sang pemenang dari juara ke-5. Nama demi nama terdengar dan aku mulai putus asa. Saat panitia menyebutkan nama sang juara pertama, hatiku merasa tak percaya. Benarkah? Seperti inikah rasanya? Aku begitu terharu mendengar namaku disebut sebagai juara pertama umum.
Aku keluar melewati lorong, mendapati Pak Muh berdiri dengan raut tersenyum bahagia mengucapkan selamat atas prestasi yang telah ku raih. Naura pun mengucapkan selamat kepadaku. Begitu pula dengan Kaira, ia tak menyangka bahwa perkataanya tentang diriku ternyata salah. Setiap proses dalam perjalanan panjang pasti tak kan mengkhianati hasil.
Gezla Tia Manggali-2024 Ilustrasi by freepik
Kirim Komentar