Karya

Mimpiku Mulai Dari Perahu Kertas

Rabu, 17 Januari 2024 / Karya

Mimpiku Mulai Dari Perahu Kertas

Yovira Dwi Agustiani

    Menatap cakrawala mendung beriringan rintik air jatuh yang beradu nyaring dalam benak bersama perasaan kacau, menjadi temanku sore itu. Hujan ini selalu membawa harapan sehabis hujan reda, akan ada pelangi bersamaan dengan angin dingin yang berhembus menyeruak lewati celah jendela. Beberapa lipatan kertas buku tulis yang menyerupai perahu. Perahu kertas dengan berbagai kata-kata akan mimpi dan harapan. Perahu mimpiku, hanyut bersama aliran air yang tercipta oleh hujan harapanku. Memandangi perahu terbawa arus, seraya menyeruput secangkir teh tanpa gula yang dicampur susu kental manis. Teh yang selalu mengingatkanku pada bahagia ketika aku tersesat dalam kesedihan.

    Aku menoleh ke arah ambang pintu kamar, melihat bayangan seorang wanita yang mendekat. “Sedang apa, Nak? Apa tidak terasa dingin?” Tanya Ibu dengan suara lembutnya yang menenangkan.

Aku menoleh, “Menghanyutkan mimpi dan harapanku, Bu.”

Ibu terkejut lalu memiringkan kepala, “Maksudmu? Kamu menyerah dengan mimpimu?”

“Aku mengikhlaskannya Bu. Aku tak mau menggapai langit, itu terlalu tinggi,” Jawabku dengan menunduk.

    Ibu duduk di sebelahku, tersenyum lalu merangkul bahuku. Ia menatap langit, mengambil secarik kertas, mataku melihat lihai tangannya melipat kertas itu. Lentik indah tangannya telah lama hilang sebab tangguh kerja kerasnya bertarung dengan kejamnya dunia. Saat Ibu selesai melipat kertas, Ibu mengambil sebuah pena dan menulis pada kertas berbentuk pesawat sederhana itu. Sembari tersenyum padaku, Ibu menerbangkannya. Pesawat kertas yang nampak rapuh itu terbang bebas. Menembus rintik hujan yang kini berubah mereda jadi gerimis.

“Jika itu mimpi mulia, kenapa tidak diperjuangkan?” Tanya Ibu.

“Tapi Bu, mendongak terlalu tinggi juga tidak baik bukan?” Tanyaku balik.

    Tangan Ibu bergerak mengelus pucuk kepalaku, “Ibu yakin, kamu mampu menggapainya, Nak. Kamu luar biasa. Akan selalu ada jalan jika ada usaha juga kemauan. Walaupun akan banyak rintangan, jika kamu tangguh Ibu yakin kamu bisa.”

    Kata-kata pendorong dari Ibu, bagai menghangatkan tubuhku, seperti sebuah sayap besar memelukku erat. Bibirku menyungging mengukir senyuman. Perlahan, aku mendongakkan kepalaku menatap langit yang berangsur-angsur mereda. Hujan kali ini meyakinkanku bahwa akan selalu ada pelangi setelah hujan. Namun, jika menginginkan hujan, juga harus menghadapi lumpur.

***

    Dini hari seperti biasanya, aku terbangun dari tidurku. Sejenak aku terduduk di ranjang dan menyeruput secangkir susu hangat, sembari menatap figura berfoto jadul. Foto itu merupakan foto kebanggaan keluargaku, foto nenek yang tengah berpose mencium Sang Saka Merah Putih. Tak lupa ikut serta membantu Kakak memasak untuk keperluan sarapan dan warung. Saat aku sudah siap, aku bergegas menuju ruang makan. Terdengar suara Bapak, Ibu, dan Kakak tengah berdialog dari lorong yang kulewati. Semakin kakiku melangkah mendekat, semakin jelas suara obrolan mereka.

“Ah, tidak! Pokoknya tidak. Aku tak akan membiarkan Langit pergi ke Ibu Kota hanya untuk menjemur diri ditengah terik matahari,” Kalimat penuh tekanan dilontarkan Bapak terdengar walaupun aku belum sampai.

Ibu angkat suara, “Pak, biarkanlah. Itu mimpinya, itu mimpi yang mulia bukan? Itu membanggakan, tak semua siswa dapat melakukannya.”

“Lalu, bagaimana dengan perlombaannya hari ini?” Tanya Kakak

“Aish, tidak peduli apapun itu, Langit adalah putriku. Lagi, keuntungan apa yang ayah dapat jika mengizinkannya? Apa semua hutang kita bisa lunas? Apa kita bisa berkecukupan? Juga, aku tak perlu dibuat bangga. Lebih baik Ia kuliah dan melanjutkan pendidikan sastranya,” Jawab Bapak lalu berdiri hendak pergi.

Langkah Bapak tertahan, Bapak melihatku dengan ekor matanya.

“Pak, kumohon izinkan aku berlomba hari ini, aku janji ini perlombaan terakhirku. Setelah ini tak akan ada lagi aku berhubungan dengan baris-berbaris. Kemudian, aku akan kuliah sesuai yang Bapak inginkan,” Ujarku sembari menampakkan diri dari tirai.

Bapak menghela napas, “Bapak pegang janjimu.”

   Aku kembali ke kamar setelah sarapan. Sesuai ucapanku sebelumnya, ini adalah perlombaan terakhirku. Dalam hati aku mengucapkan salam perpisahan pada pernak-pernik baris-berbaris milikku. Aku sudah siap dengan seragamku biru dongker, dipadukan dengan tali komando berwarna hitam berpadu dengan kuning yang melingkar di bahu kananku. Diantar Kakak, aku menuju ke sekolah. “Semangat ya Ngit. Walaupun Kakak tidak menemani,” Ujar Kakak dan kubalas anggukan.

***

    Sore tiba, detik-detik menjelang diumumkannya sang juara. Degup jantungku berdetak kencang, telapak tangan dan kakiku dingin. Suasana langit mendung dengan hembusan angin dingin, membuat kami semakin penasaran tentang siapa yang akan merebut juara pertama. Sang MC mengambil napas, “Juara pertama Lomba Baris-Berbaris Merah Putih XXIV, pleton dengan nomor dada 004! Dengan nama komandan Anantari Candhranuansa Langit Kusuma!”

    Kami semua berteriak kencang, tak mampu menahan diri, tangis haru pecah. Ponsel yang kukantongi bergetar, menandakan adanya panggilan, mengentikan sejenak kegiatanku. Saat kulihat, ternyata dari Kakak, “Dek?” Panggilnya, namun belum selesai aku menyelanya.

“KAK! AKU MENANG JUARA PERTAMA!” Seruku.

“Pulang sekarang, Bapak sakit,” Ucapnya dari seberang sana.

    Jantungku bagai berhenti berdetak. Detik itu juga aku bergegas pulang. Setibanya di rumah, aku segera berlari menuju kamar bapak. Saat aku masuk, “Kemarilah, Ngit,” Suara serak Bapak memanggilku. Aku mendekat ke ranjang bapak, kemudian duduk di sebelah ranjang.

“Bapak minta maaf jika Bapak melarangmu tentang banyak hal. Bapak hanya tidak mau setelah kamu melalui semuanya, kamu sakit seperti Bapak. Namun kali ini Bapak sadar, mimpimu juga bagian dari kebahagiaanmu. Maafkan Bapak ya Ngit, Bapak juga sudah dengar kamu menenangkannya, sebagai gantinya, Bapak mengizinkanmu menjadi Paskibraka Nasional. Tarik janjimu yang tadi dan kejar mimpimu,” Ujar Bapak sembari menggenggam jemariku.

Aku terperanjat. Bapak mengizinkanku menggapai mimpiku. Aku tak percaya, “Sungguhkah Pak?”

Ibu  mendekat, “Kamu juga mendapatkan uang pembinaan dari kemenanganmu lomba menulis novel 2 minggu lalu, jadikanlah itu bekalmu selama seleksi, Nak.”

***

    Aku telah membuktikan, setiap ada kemauan harus ada perjuangan. Namun, dibalik tangguhnya perjuanganku, tentunya ada support system luar biasa. Aku senang, mimpiku tercapai atas seizin Bapak. Walaupun Bapak tidak menyaksikanku langsung membawa baki bendera, aku yakin Bapak pasti bahagia melihatku dari atas sana. Mimpi yang kumulai dari perahu kertas, kini telah tercapai. Aku bangga pada diriku yang mampu membanggakan orang lain.

[SELESAI]

    Kirim Komentar

    © Copyright Citraweb Digital Multisolusi All Rights Reserved. Designed and Developed by Developed by Citraweb