Usaha yang Tak Sia-sia
Usaha yang Tak Sia-sia
Shakuntala Katara Gantari
Seorang pria sedang menatap kosong kedepan ladang jagung. Namun dia tidak sendiri, ada seorang pria lain yang memiliki wajah blasteran duduk di sampingnya dan sesekali menyesap kopi yang telah ia seduh.
"Panen gagal terus," ucap pria tersebut dengan tatapan kosong.
"Gapapa Ling, besok kita coba lagi." Ujar pria lain, yang memiliki nama Hanson.
"Coba lagi apa, Son? Ga bakal berhasil!" balas pria itu putus asa memiliki nama Lingga Buana.
"Ling, bisa jadi dikemudian hari lu punya lahan jagung yang luas atau lu besok jadi juragan jagung" ujar Hanson yang mencoba menyemangati.
"Ya, amin deh" jawab pasrah Lingga.
Lingga Buana anak dari juragan jagung yang cukup terkenal di desanya. Tetapi karena orang tuanya yang sangat baik, jadi Lingga terkena imbasnya. Orang tuanya sering meminjamkan uang kepada orang-orang di desa tersebut. Warga desa jika di tagih selalu ada saja alasannya. Lingga pusing, tetapi Ibu Lingga pernah berpesan sebelum ia tiada “Le, kalok nyelesaiin masalah jangan pakek kekerasan, ya karena Ibu tidak suka kekerasan.”
Hanson Van Osch teman masa kecil dan tetangga Lingga dari masih balita selalu bersama tidak ada yang bisa memisahkan keduanya. Sampai sekarangpun mereka selalu bersama bahkan Hanson sudah menjadi rekan kerja Lingga. Hanson memiliki sedikit darah keturunan Belanda. Ya, semacam blasteran tetapi dia sudah lama tingga di Indonesia tepatnya di pulau Jawa.
"Wes bengi ayo pulang, ndak digondol wewe!" ajak Hanson pulang.
"Mbok pikir aku seh cilik??" Lingga membalas candaan Hanson, lalu Lingga bergegas membereskan barang mereka. Tidak banyak hanya satu termos, dua cangkir kecil, dan satu sendok.
"Hahaaha yo wes ayo!" Ajak Hanson yang sudah berdiri.
Mereka berdua pun jalan beriringan menuju rumah yang kebetulan rumah mereka bersebelahan. Sesampainya Lingga di rumah yang ada hanya kesunyian. Lingga membuka pintu rumah yang sudah usang karena sangat lama rumah itu berdiri. Lingga langsung menidurkan diri di kasur empuknya.
Surya mulai terlihat dari ufuk timur penanda kita harus memulai lembaran baru. Lingga baru saja bangun dari tidur lelapnya, dia terganggu karena ketukan dari balik pintu rumahnya. Terpaksa Lingga beranjak dari tempat tidurnya uintuk membuka pintu. Saat Lingga membuka pintu dia di kejutkan oleh petugas pajak.
“Eh, bapak ada apa?” Lingga bertanya dengan kikuk.
“Bayar pajak ladang dari tahun lalu belum dilunasin." Ujar sinis bapak penagih pajak.
“Elah pak belum pada bayar utang mereka” balas Lingga pasrah.
Dari kejauhan Hanson melihat Lingga didatangi oleh penagih pajakpun merasa iba karena tahu betapa susahnya Lingga mencari uang. Bagi Lingga untuk makan saja susah apa lagi untuk bayar pajak tahunan lahan. Hanson memutuskan untuk mendatangi rumah Lingga.
“Eh, bapak” sapa Hanson pada pria itu. “Bapak tahu enggak kalok ada kudanil terbang?” lanjut Hanson bertanya.
“Jangan ngaco deh kamu." Ketus sang penagih pajak.
“Bener kok.” Hanson membalas dengan wajah menjengkelkan. “Itu pak, ada bu Siti” ucap Hanson menujuk kearah depan rumah Lingga. Saat petugas lengah mereka dengan cepat berlari memasuki rumah dan tak lupa mengunci pintu. Keluar melalui pintu belakang.
Saat ini Lingga tengah menatap kosong air yang jernih di depannya tak lupa ada Hanson. Tiba-tiba ada yang menepuk pundak Lingga.
"Mas Lingga ya ini?" Tanya orang tersebut. Lingga yang merasa namanya dipanggilpun menengok.
"Oalahh tambah gede ya sekarang, tambah bagus," balas orang tersebut.
"Makasih." Balas lingga tersenyum kikuk
"Oh ya, saya kesini mau bayar hutang." Orang tersebut sambil merogoh sakunya.
"Nama bapak siapa ya?" Tanya Lingga.
"Saya pak Yanto temen bapak kamu, saya pernah pinjam uang yang jumlahnya cukup besar." Jelas pak Yanto.
"Ohh, memang berapa ya, pak?" Tanya Lingga.
"Sekitar 3jtan" balas pak Yanto. "Tapi ini ada lebih buat mas Lingga." lanjut pak yanto sambil memberikan amplop.
"Wah makasih pak." Lingga menerima amplop itu dengan senang.
"Iya, harusnya saya yang ngomong makasih, yaudah saya pulang dulu ya." Pamit pak Yanto lalu pergi menjauh dari tempat Lingga berdiri.
"Son, sonnnn," panggil Lingga pada Hanson penuh dengan semangat. Lingga lalu berjalan menghampiri Hanson dan memeluk sahabatnya dengan sangat erat. "Son dapet Son." Ucap gembira Lingga mengangkat amplop berisi uang tersebut.
"Hahhahaa, selamat ya." Ucap Hanson membalas pelukan Lingga tak kalah erat. Sore itu mereka habiskan dengan berjalan di tepi sungai dengan sesekali bercanda.
Tak terasa surya sudah tidak tampak. Lingga dan Hanson pun pulang menuju rumah masing-masing dengan hati yang senang. Seakan ada kupu-kupu yang terbang keluar dari dalam perutnya. Sesampainya di rumah lingga membersihkan diri, lalu membuka amplop lalu mengitung. Setelah selesai mengitung uang Lingga menyimpannya dan meniduri diri di kasur empuk. Menunggu surya datang tuk menjemput Lingga dengan harapan yang baik.
Pagi hari surya datang menyemput dengan senyuman. Lingga bangun lebih pagi untuk sekedar membersihkan rumahnya karena dia merasa rumah ini sudah sangat lama tidak diurus. Saat Lingga sedang membersihkan rumah tiba-tiba Hanson datang dengan tangan kanan membawa laptop tangan kiri membawa sekantung tahu bulat.
"Ling Ling Ling," panggil heboh Hanson.
"Apa son?" Tanya Lingga malas.
"Ini mau coba ekspor jagungnya enggak?" Tanya Hanson antusias.
"Emang mau diekspor kemana, Son?" Tanya Lingga sambil memakan tahu bulat yang dibawa oleh Hanson.
"Ke Mexico disana peminat jagung lumayan loh." Balas Hanson dengan tatapan mata berbinar.
"Boleh, mumpung ada modal." Dengan itu Lingga setuju ekspor jagung keluar negeri.
Mereka belajar bagaimana cara meng ekspor barang keluar negeri, hari demi hari mereka lewati untuk belajar ekspor barang dan menentukan nilai jual. Usaha tidak menghianati hasil. Sekarang lingga dapat meng ekspor berton-ton jagun dari ladangnya.
Kirim Komentar