SEHATI
SEHATI
Gabriella Tabitha Wardani
Namaku Gabby, murid kelas 9 di SMP Bopkri 3 Yogyakarta. Aku baru pindah ke Yogya 2 tahun yang lalu. Sebelumnya aku tinggal di Nabire, sebuah kota di Papua. Aku pindah ke Yogya karena dari dulu aku ingin sekali bersekolah di kota ini. Kota Yogya terkenal sebagai Kota Pelajar. Kota ini juga merupakan kota kelahiran Papaku. Kata Papa, aku akan sekolah di Yogya jadi aku bisa sekaligus pulang kampung.
Saat di Nabire aku mempunyai sahabat bernama Felicita atau lebih dikenal sebagai Cita. Hubungan kami sangat akrab walaupun beda suku. Rumah kami pun berjauhan, tetapi aku sering bermain ke rumahnya atau sebaliknya Cita yang bermain di rumahku.
Suatu hari Cita meminjam buku catatanku karena dia tidak sempat mencatat materi yang diberikan oleh guru bahasa Inggris. Sejak dua hari yang lalu Cita tidak masuk sekolah karena sakit.
“Hai, Gab… Pinjam bukumu dong” kata Cita.
“Buku apa, Cit?” tanyaku.
“Buku catatan bahasa Inggris. Kemarin aku tidak sempat mencatat materinya karena aku tidak masuk sekolah.” Jawab Cita.
“Oke. Besok kubawain ya.” Kataku.
“Makasih, Gab.” Ucap Cita.
“Sama-sama. Ke kantin yuk?” Tanyaku.
“Ayo!” Jawab Cita.
Begitulah kami, walaupun selalu bersaing nilai di kelas tapi kami tetap saling mendukung. Saat di kelas kami duduk bersebelahan. Saat jam istirahat biasanya kami memakan bekal sembari berbincang-bincang. Kami juga sering belajar bersama. Aku kagum kepadanya karena dia termasuk dalam 3 besar di kelas kami.
“Cit, sebentar lagi sudah PTS nih. Mau belajar bareng ga?” Tanyaku.
“Wah, boleh tuh! Gimana kalau belajar di rumahmu nanti sore?” Ucap Cita.
“Oke! Jangan lupa izin ke mamamu ya.” Jawabku.
“Siap!” Kata Cita.
Aku mengajak Cita untuk belajar bersama karena sebentar lagi akan ada Penilaian Tengah Semester, atau biasanya disingkat menjadi PTS. Sorenya, terdengar ada suara mobil yang parkir di depan rumahku. Saat menyadari bahwa itu adalah mobil milik Cita, aku pun langsung berlari ke depan untuk menyambutnya. Cita pun masuk ke rumah lalu menyapa dan menyalim mama.
“Selamat sore, tante.” Ucap Cita.
“Selamat sore, anak cantik. Ayo masuk.” Ujar Mama.
Setelah itu, kami belajar di kamarku. Beberapa saat kemudian, Mama datang dengan membawa baki yang berisi dua cangkir teh panas dan setoples kue kering. Kami berterima kasih kepada Mama sebelum kembali belajar. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 18:00 WIT. Mama mengajak kami untuk makan malam bersama.
Di sekolah kami tidak selalu berdua, kami juga berteman dengan teman-teman yang lain. Tiba-tiba Abel teman sekelas kami menemuiku.
“Gab, kok ga ke kantin, tuh si Cita di kantin bareng Loli, tumben kalian ga bareng?” Tanya Abel.
“Aku masih nyelesaiin catatan pelajaran tadi, lagipula aku sudah makan bekalku”, jawabku.
“Eh, Gab, kamu tahu ga kalau si Cita tuh sering gibahin kamu loh. Gibahin yang jelek-jelek.” Kata Abel.
“Masa sih?” Tanyaku.
“Beneran. Aku denger sendiri lho. Kalian kan harusnya bersaing untuk mendapatkan juara kelas? Mending kamu jangan sering-sering ngajarin Cita pelajaran matematika deh, biarin aja nilai matematikanya jelek. Jadi kamu bisa jadi juara terus” Ucap Abel.
“Bener juga sih… Makasi ya informasinya.” Jawabku.
Beberapa hari setelah itu aku mulai menjauhi Cita. Aku menjadi dekat dengan Abel. Hingga suatu hari Cita memulai percakapan.
“Gab, kamu akhir-akhir ini kok ngejauhin aku sih?” Tanya Cita.
“Kamu jahat sama aku. Kamu sering gibahin aku kan?” Jawabku.
“Hah? Aku ga pernah gibahin kamu ya. Emang kamu tau dari siapa?” Ujar Cita.
“Dari Abel. Gausah bohong deh, Cit!” Ujarku.
“Gab... Maaf ya. Aku bohong sama kamu.” Kata Abel.
“Loh, Abel?” Tanyaku dengan heran.
“Selama ini aku bohong tentang Cita. Aku minta maaf ya sama kalian…” Ujar Abel.
“Cit… Aku minta maaf ya. Aku kira yang dikatakan Abel adalah kenyataannya.” Ucapku.
“Gapapa kok. Lain kali jangan berbohong seperti itu ya, Bel.” Kata Cita.
“Iya, Cit… Sekali lagi maafin aku ya.” Jawab Abel.
“Mulai sekarang kita akan bertiga terus. Deal?” Ujar Cita.
“Deal!” Jawabku dan Abel.
Aku dan Cita baru tahu kalau Abel selama ini iri dengan persahabatan kami. Dia seringkali memfitnah salah satu dari kami agar persahabatan kami terputus. Meskipun demikian, kami tidak akan dengan mudah memercayai Abel. Tetapi kami berusaha untuk terus mendekati Abel, mengajaknya ke kantin, ataupun belajar bareng. Ternyata selama ini Abel memiliki alasan mengapa dia berusaha merusak persahabatan kami. Dia selalu kesepian dan jarang ada teman-teman yang mau bermain dengannya.
Kini kami selalu bermain dan belajar bertiga. Meskipun dalam beberapa hal kami harus bersaing, bukan berarti kami tidak boleh saling membantu. Sebagai sahabat, kami selalu mendukung satu sama lain. Jika ada yang sedang sedih, seharunya kita menyemangati mereka. Bukan malah membuatnya merasa lebih sedih.
Sudah enam tahun aku menjadi murid di SD ini. Hari-hari kujalani dengan suka dan duka bersama teman-teman di sekolah. Berbagi cerita, bermain bersama, dan masih banyak lagi kegiatan kami selama di sekolah. Namun, kita tak dapat menghentikan waktu. Waktu akan terus berputar. Tak terasa sudah saatnya pengumuman kelulusan. Pengumuman kelulusan dibacakan pada hari terakhir sekolah sebelum penerimaan ijazah.
Puji Tuhan kami bertiga lulus dari SD ini. Kabar gembira ini tentunya harus diberitahu kepada keluarga di rumah. Maka dari itu, sepulang sekolah aku langsung memberitahu mama tentang kelulusanku.
Singkat cerita, sudah hampir waktunya penerimaan ijazah. Kami bertiga memutuskan untuk memakai kebaya yang sesuai dengan karakter dari kartun PowerPuff. Aku memakai kebaya biru muda, Cita memakai kebaya merah muda, dan Abel memakai kebaya hijau sage. Tak lupa kami juga memakai riasan wajah.
“Aduh… Cantiknya gadis-gadis ini,” ucap mamanya Cita.
“Hehe… Makasi, tante,” jawabku.
Pada akhirnya kami akan dihadapkan pada perpisahan. Kami harus berpisah karena aku akan pindah ke Jogja untuk melanjutkan sekolahku. Walaupun berat, kami harus bisa menerima kenyataan ini. Walaupun kami terpisah oleh jarak, hati kami akan selalu satu di dalam doa. Kami percaya bahwa kami akan bertemu lagi suatu saat nanti.
Setelah bersekolah di Yogya aku mendapat teman baru, begitu juga Cita dan Abel. Namun, persahabatan kami tetap terjalin, kami berjanji akan selalu bersaing dengan sehat dalam studi kami. Persaingan kami tidak menjadi pemisah dalam persahabatan kami, tetapi akan menjadi motivasi kami, untuk berpacu meraih impian kami.
[SELESAI]
Kirim Komentar